Perjalanan album baruku
Perjalanan album
baruku
Udara siang di
atmosfer ini masih sama dengan hari-hari yang lalu. Suasananya pun hampir tak
ada yang berbeda. Tak ada yang melipat wajah dan senyum mereka. Ya, tak ada
yang ingin menunjukkan kesedihan mereka pada suatu hal yang ada dalam pikiran
mereka. Aku duduk di anak tangga fakultasku, memperhatikan setiap sepatu yang
melangkah menghitung waktu. Mencari, menanti dan memaki setiap keadaan, bukan
untuk menciptakan masalah namun mencoba menghubungkan setiap titik-titik dari
saraf satu menuju ke saraf yang lain. Aku disini berperan sebagai pengamat.
Namun kali ini bukan mereka yang menjadi objek pengamatanku melainkan diriku
sendiri. Akulah tokoh dalam tulisanku. Disaat kucoba untuk mengamati, tak
kutemukan hal yang begitu spesifik, hanya kenangan masa-masa sesudah hari ini
yang ingin kutulis. Aku teringat kejadian 3 minggu yang lalu. Tak begitu runtut
dan akan ku jelaskan sesuai alurku yang memang sedikit terbang menjelajah dari
1 tempat ke tempat lain.
Selasa, 16 Februari
2016. Aku ingat, hari itu adalah hari yang sudah aku jadwalkan bersama
teman-teman DEPUTRI FKMI UNIPA untuk membuat agenda tebar hijab di Universitas.
Jumlah muslimah di UNIPA berkisar kurang lebih 350 0rang dari angkatan 2013-2015.
Deskripsi dariku tak akan terlalu jelas, hanya mengetahuinya melalui data
mahasiswa muslim yang pernah kulihat dari salah seorang teman yang pernah
melakukan penelitian menghitung jumlah mahasiswa muslim di UNIPA. Saat aku dan
teman-teman membagikan hijab yang jumlahnya hanya kurang lebih 200 lembar
kepada mahasiswa muslimah yang melintas
di depan sekret UKM FKMI, banyak hal yang aku lalui, mulai dari mengajak mereka
untuk singgah ke sekret seusai mereka kuliah atau sebelum mereka berangkat
kuliah sampai sesi foto-foto bareng bersama mereka. Teman-teman yang lain pun
ikut menyemangati kami dengan menyumbangkan tenaga mereka, ada yang berkoar-koar
menggunakan pengeras suara untuk mengproklamirkan tentang ajakan berhijab, ada
pula yang berbesar hati memegang papan tulisan yang bertuliskan tentang
kegiatan kami “ Bagi-bagi Hijab gratis untuk muslimah UNIPA”. Peristiwa ini telah terbingkai indah dalam album
baruku, menjadi salah satu bagian dari banyaknya kisah yang tertulis. Meski
kadang lelah menghampiri namun karena semangat dan ketulusan hati mereka yang
menguatkanku untuk tetap tegar hingga akhir, ya tentu saja mereka, mereka yang
tanpa ku beri tahupun akan mengetahuinya bahwa yang ku maksud adalah mereka, karena
pengetahuan mereka berlandaskan ukhuwah.
Kemudian pikiranku
mengajakku berpetualangan lagi ke memori yang lain. Aku ingat pada suatu malam.
Malam itu adalah malam dimana aku sedang terbaring dan termangu di atas tempat
tidurku yang jika kita berbelok 25o ke arah kiri tergantung sebuah
mesin waktu yang menunjukkan pukul 9.45 pm. Tidak biasanya aku memikirkan hal
ini sekuat pemikiran yang saat ini kupikirkan tentang barang produk Yahudi yang
hingga umurku sekarang ini, ku konsumsi dengan tanpa memikirkan apa yang
terjadi pada orang lain jika produk itu ku konsumsi. Setelah beberapa artikel
kubaca, dan dalam artikel-artikel tersebut di jelaskan bahwa barang
produk-produk Yahudi tersebut, hasil penjualannya akan di sumbangkan ke Israel
untuk kemudian “disulap” menjadi peluru-peluru timah panas yang siap di
tembakkan ke kepala warga Palestine menembus otak-otak mereka hingga wajah
merekapun sulit untuk di kenali. Dalam hal ini, sisi kemanusiaan yang ku
junjung tinggi terlepas dari segala kecamuk yang terjadi di antara kedua Negeri
tersebut. Bukankah setiap manusia memiliki hak untuk hidup? Apakah hak itu
telah di cabut dari kebijakan di Negeri Palestine? Entahlah, namun setahuku di
Indonesiaku saja, kita memiliki hak untuk berbicara, apalagi untuk hidup?
Setelah membaca artikel-artikel yang berhubungan dengan hal-hal itu, bahkan
mencoba mencari video-videonya di Youtube, ternyata memang seperti itu adanya.
Aku menjadi merasa bersalah dan sangat berdosa jika kini telah ku ketahui apa
saja produk-produk Yahudi tersebut namun masih mengkonsumsinya. Sejak saat itu,
ku bulatkan prinsip ini untuk tidak megkonsumsi produk itu secara sadar dan
mencoba menjauhinya dari sisi manapun, walaupun aku yakin akan sangat susah
menjelaskan kepada mereka yang tak sependapat dengan prinsipku. Album baruku
pun telah menjadi saksi dan mencatatnya. Semoga Allah mengampuni dosaku. Aamiin.
Tenggelam dalam
lamunan itu, akupun telah berada di alam bawah sadarku menghitung bintang yang
tersebar di galaksi bima sakti hingga pagipun membangunkanku dengan senyum
merekahnya. Suara kumandang ini adalah suara dimana hanya orang-orang yang di
jagalah yang akan terbangun dari tidurnya. Melaksanakan kewajiban, bersyukur
kepada Penciptanya atas nafas yang masih di berikan hingga detik ini. Aku
ingat, hari ini adalah jadwalku untuk refreshing, mengaktifkan otak kanan lebih
banyak dan lebih lama setidaknya agar jiwa ini tak gersang setelah satu pekan
ku izinkan si otak kiri untuk berperan lebih aktif dari sudaranya. Trip to
waterfall!!!
Saat waktu telah
kami tetapkan, pukul 06.00 am kami berjumpa di tempat janjian. Namun, tak
mengurangi budaya beberapa orang di Indonesia yang sangat mainstream, pukul
06.30 kami pun berjumpa dan segera berangkat. Dalam perjalanan, kameramen kami
ternyata telah standby dengan handycam nya. Ia meliput acara kami. Acara
jalan-jalan akhir pekan kami. Perjalanan ini di lakukan bukan semata-mata ingin
hura-hura tak jelas melainkan memang kami sengaja ingin membuat acara televisi
salah satu instansi tertentu dan aku disini hanya berperan dalam
mengekspresikannya melalui tulisan, ya Relawan Literasi. Perjalanan kami tak semulus
dengan apa yang ada di pikiranku.
Ternyata kami masih harus berhenti di sebuah kios untuk membeli persediaan
makanan untuk beberapa jam. Sebelum itu pula, kami masih harus menjemput kedua
teman kami yang masih berada di rumahnya. Kami bertujuh (aku, Yuli, mba Amel,
Pardi, Arsul,pak Febri dan pak Hajar) menyusuri jalan raya hingga akhirnya kami
telah sampai di desa Wasai. Perjalanan bermotor ini harus kami akhiri di di
depan pasar Wasai karena untuk perjalanan selanjutnya, kami di haruskan
berjalan kaki menyusuri kali berbatu dan berair dingin. Sebelum kami menuju
kali, reporter kami,Yuli membuka video siaran televisi ini dengan sedikit bercuap-cuap bersama Arsul, tourguide
kami.setelah akhir dari kata “ikuti perjalanan kami, yuk!” langkah kamipun di
mulai.
Dalam perjalanan
menyusuri kali, kami banyak bercerita tentang hal-hal yang berhubungan dengan
lingkungan, termasuk kondisi kali di kaki guniung ini. Kali Wasai ini masih
sangat asri, terlihat dari kondisinya yang masih bersih dari sampah dan air
yang jernih serta segar untuk di minum.reporter yuli menanyakan kepada
tourguide tentang berapa lama lagi perjalanan ini, beliau mengatakan kurang
lebih 2,5 jam perejalanan kaki. Kami memulai menyusuri kali pukul 8.30 am dan
di perkirakan tiba di lokasi air terjun Wasai pukul 11.00 am. Di tengah
perjalanan, kami sudah membayangkan akan seperti apa air terjun yang akan kami
datangi ini hingga untuk merasakan lelahpun kami lupa. Hanya keceriaan yang
tergambar pada wajah-wajah itu. Entah, apakah karena mereka telah meninggalkan
wajah letih atau sedih mereka di rumah, atau perasaan itu telah mengalir
bersama aliran air kali ini? Hanya
mereka yang bisa menjawab.
Kami belum terlalu
jauh dengan rumah penduduk. Tanda-tanda keberadaan manusia masih terlihat jelas
dengan adanya bekas kayu jemuran serta sisa kayu bakar/api unggun di pinggir
kali. Kami masih harus melanjutkan perjalanan ini. Dengan banyaknya rintangan
batu terjal, menambah semangat kami untuk menguji adrenalin. Tak di pungkiri
sudah puluhan kali aku tak sengaja menendang batu-batu kali yang ukurannya
cukup besar untuk bertumbukan dengan kaki, terjatuh dan terendam dalam air
serta terpeleset di batu-batu licin. Bukan hanya itu, aliran kali yang deras
pun ikut mnyapa pada celah-celah batu yang dalamnya bisa merendam seluruh tubuh
kami. Kami juga berjumpa dengan pohon besar yang tumbang di kali, mengharuskan
kami untuk melintas di atasnya dan sudah sebagai tradisi dalam traveling bahwa
sesi foto-fotopun menjadi hal penting dalam setiap perjalanan. Jam tangan telah
menunjukan pukul 10.30 am. Perjalanan ini masih harus menghitung waktu dan
berapa banyak kupu-kupu lagi yang melintas serta suara burung-burung hutan yang
merdu yang hanya akan bersuara jika tak ada tanda-tanda keberadaan makhluk lain
seperti hewan besar dan manusia di sekitar mereka. Kamipun tak ingin mengusik
mereka dengan keberadan dan keributan suara kami.
Pukul 11.00 am kami
masih berhenti sejenak di atas batu besar dan memakan sedikit persediaan
makanan kami sekaligus untuk menambah kekuatan sejenak. Tidak jauh dari tempat
kami beristirahat, sang tourguide telah menunjukan kepada kami anak air terjun
Wasai. Sekitar 5 meter dari anak air terjun itu, tempat tujuan kamipun telah
terlihat dan begitulah rupa dari air terjun Wasai. Air terjun yang airnya
sangat dingin dan bisa langsung diminum, air terjun yang sedari dari tadi kami
pikirkan, air terjunnya tak terlalu berbahaya dan kolam di bawahnyanya pun tak
terlalu dalam, cocok untuk kami sang petualang pemula. Tidak menutupi bahwa ada
juga kolam air terjun yang dalam, cocok untuk mereka yang ingin menguji
adrenalin dengan terjun ke dalamnya. Kami memilih tempat untuk kami resmikan
menjadi tempat berendam kami. Yuli sang reporter pun mengabarkan kepada
penonton bahwa perjalanan kami telah sampai pada tujuan. Tak terlalu
mengecewakan namun tak juga terlalu menakjubkan, air terjun ini cukup indah dan
tak akan menyesal jika telah sampai disini. Kami puas dengan perjalanan kami
kali ini. Reporterpun menutup acara kami dengan menyimpulkan bahwa kita sebagai
generasi penerus sudah selayaknya menjaga dan melestarikan warisan alam kita
dengan tidak merusaknya atau mengeksploitasinya agar anak cucu kita bisa merasakan
hal yang sama dengan kita. Setelah itupun kami bertujuh asyik dengan aktifitas
kami di air terjun. Untuk menambah uji adrenalin, kami mencoba untuk lompat
dari ketinggian 6 meter. Asyiknya telah kami dapatkan, serunya pun telah kami
rasakan. Waktupun telah menunjukan pukul
01.00 pm. Kami memutuskan untuk segera
pulang. Perjalanan ini akan terasa biasa saja jika kami menganggap ini biasa,
namun karena kami niatkan nge-trip fii
sabilillah, jadi semakin asyik dan bermanfaat bagi jasmani dan rohani kita.
Aku teperanjat dari
lamunku, saat teman sekelasku mengagetkan ku dari arah depan tempatku duduk di
anak tangga fakultasku ini. Dosen telah datang, kamipun bergegas menuju kelas
untuk menerima ilmu darinya. Di akhir tinta, ku ucapkan salam pada pembaca.
Semoga terhibur dengan tulisan ini. (afaris)
Kisah tanpa narasi hnya akan mjd memori utk diri sendiri.
BalasHapusTerimakasih sdh menarasikan kisah ini Afaris.
Kelak jika waktu telah melemahkan kita, membawa kita pada masa yg lainnya, narasimu akan tetap manis utk didengar.
Bak album lama yg menghanyutkan emosi meski usang..
hehe... iya mba... harus di mulai dari sekarang hobi nulisnya...
Hapus